Apakah Setiap Manusia Pasti Mati?
Prolog untuk Pertumbuhan di Atas Meja Makan
“Apakah setiap manusia pasti mati?” Ini adalah satu pertanyaan yang kadang-kadang perlu dibantah, walaupun kita sedang berada dalam sebuah upacara pemakaman. Karena ada watak-watak yang pernah dibangun manusia ternyata tidak pernah mati. Tetapi, dengan penalaran ini, berarti kita juga hidup bersama bangkai-bangkai watak yang berdiam dalam setiap peranan yang terus kita reproduksi, walaupun zaman telah mengubah sekian banyak peranan. Dunia jadi serem. Kalau begitu, kita juga boleh tidak bersetuju dengan kelahiran kita sendiri. Karena bersama watak-watak yang tidak pernah mati itulah barangkali kita memang tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mati.
Drama ini hanya ingin mendekati apa-apa yang tidak berubah dan yang telah berubah di sekitar kita. Siapa tahu diam-diam sebenarnya kita lebih suka hidup berdampingan dengan bangkai, atau hidup sebagai hewan. Karena manusia memiliki berbagai beban moral yang terlalu berlebihan, yang sebenarnya mungkin hanya mampu dipanggul oleh robot-robot, atau oleh lampu jalan di malam hari. Tetapi apakah manusia memang bisa mati? Oleh karena itulah, dari penalaran seperti ini, sebuah pertumbuhan, yang tumbuh di atas makanan yang kita makan sendiri, bisa kita saksikan. Begitulah, seperti sebuah “teater-buku”, dalam adegan-adegannya, drama ini menggunakan kutipan dari berbagai sumber: pendapat Sukarno mengenai kebebasan pers, potongan drama Caligula karya Albert Camus, potongan drama Sandhyakala ning Majapahit karya Sanoesi Pane, potongan pidato Mohammad Hatta tentang tanggung jawab moral kaum inteligensia, dan nyanyian “Langit Hitam” karya Franky Sahilatua. Bersama mareka, saya ingin juga bicara mengenai tugas-tugas di sekitar kita. •
Afrizal Malna