Budi Ros dan 27 Monolog
Pengantar Lugu Kayu Bakar
N. Riantirano
Angka 27 itu, bagaimanapun, mengandung sesuatu yang mistis. Jumlahkan saja, maka akan menjadi 9, 7 + 2. Dalam hitungan berbagai hal, misalnya yang mistis itu, akan menjadi angka keberuntungan. Semoga demikian. Dalam hitungan lain, angka 9 atau 8 adalah angka yang menyebabkan orang akan, antara lain, menjadi kaya. Tapi saya tidak akan membahas perkara mistis itu. Saya akan menulis tentang karya kreatif Budi Ros, berupa monolog, sesuatu yang membikin kekaguman.
Budi Ros lahir di Banjarnegara, 6 Januari 1959, bergabung dengan Teater Koma sejak 1985. Hingga kini, dia tetap ada dalam grup, sudah 36 tahun. Sebagian besar anggota Teater Koma, biasanya, selalu lama di kelompok itu. Mungkin karena betah dan dihargai. Dia adalah pemain yang sangat andal. Saat itu, ketika masuk, dia ingin melakoni 3 bidang studi, yakni seni peran, penyutradaraan, dan penulisan. Ketiga bidang studi itu, hingga kini, sudah dikerjakannya di Teater Koma.
Dia menulis lakon Festival Topeng dan dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, 2006. Gedung itu, kini, sudah dihancurkan. Lakon ini pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta, 2005. Dan sekarang ini, selama satu tahun pandemi, dia sudah menyutradarai dua lakon lagi. Dia juga menyutradarai Wayang Tavip, dan sudah pernah keliling Jabodetabek. Dia sudah menjadi aktor, menyutradarai, dan mulai menulis lakon lagi. Bagi saya, ini adalah sebuah kebahagiaan.
Selain mendapat penghargaan dari Jakarta, dia juga mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Surabaya (Aku versus Ayahku), Komunitas Salihara (Minyak Wangi untuk Orang Mati) dan Panitia Sayembara Naskah Monolog Anti-Budaya Korupsi, Yogyakarta (Lugu Kayu Bakar). Naskah yang terakhir ini diambil oleh Panitia Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) sebagai naskah pilihan monolog tahunan. Monolog ini bagus, banyak mahasiswa memilihnya untuk materi lomba.
Mulai tahun 2010, dia mendalang di Wayang Tavip, wayang kontemporer, atau katakanlah, wayang masa kini. Mungkin karena, kalau saya bikin sandiwara, terutama naskah dari China, yakni Sie Djin Kwie, dia selalu menjadi dalang. Saya sudah membikin lakon China itu empat kali, sejak 2010, 2011, 2012, dan 2017. Dan, mungkin keterusan. Akhirnya dia meneruskan keahliannya untuk mendalang. Maka, Wayang Tavip adalah wadah yang bisa memenuhi keinginannya itu.
Selain aktor panggung, dia juga aktor film. Dia pernah bermain dalam film arahan Hanung Bramantyo (Ayat-Ayat Cinta, Legenda Sundel Bolong), Riri Riza (Paranoia), Emil Heradi (Wedding Proposal), Wiregas Bhanuteja (Penyalin Cahaya), Rako Priyanto (Oh My God, Tri Mas Getir), William Chandra (Nemesis) dan Timo Tjahyanto (VHS/94, The Big 4). Dia juga sering menjadi juri, meski kegiatan teater dan panggung tetap tidak ditinggalkan. Dia mulai menulis monolog sejak 1989, judulnya Hadiah. Dalam monolog ini, sebagai orang tua yang punya anak satu, si tokoh selalu merasa was-was. Dan ujung dari lakon ini adalah anaknya itu, yang bernama Cindy, ditangkap polisi. Sayang sekali, sesudah menulis monolog itu, dia tidak menulis lagi. Mungkin rehat sejenak. Tapi saya tahu, dia akan menulis lagi.
Betul juga, dia kemudian menulis dua monolog lagi pada 2003, Abusalah, tentang seseorang yang oleh masyarakat kemudian diangkat menjadi ketua RT. Di dalam pidatonya, Abusalah menolak dan menganggap seluruh penduduk sudah menjerumuskan dia. Lalu, dia menyepi. Nah, ketika penduduk mencari calon RT lain, ternyata dia menerima, malah mau bikin tumpengan. Memang serba salah. Hingga sekarang, dia tidak menjadi ketua RT, karena ternyata sudah ada calon yang lain. Monolog kedua, Calon Pengarang, juga naskah yang menurut saya sangat bagus. Dia, sampai mati, tidak pernah jadi pengarang. Tapi selalu muncul setiap kali ada rapat untuk para pengarang dan memberikan berbagai pemahaman tentang kepengarangan.
Tahun 2004, dia menulis tiga monolog. Yang pertama Lugu Kayu Bakar. Ini kisah yang sangat aneh dan unik, maka monolog itu pun pasti dimenangkan. Ayahnya Lugu, nama tokoh ini, bernama Lono, kakeknya bernama Luhur, dan buyutnya bernama Langu. Semua nama itu diberi tambahan sebutan, yakni Kayu Bakar. Jadi nama tokoh kita yang sekarang ini adalah Lugu Kayu Bakar. Korupsi dimulai dari bagaimana cara menjual benda ini: “pilihlah kayu yang kering, jangan yang basah, apalagi hasil dari pencurian, sebab memasak dengan kayu kering akan jauh lebih bagus”. Korupsi bisa terjadi dalam berbagai macam, tapi cara menjual kayu itu adalah tindakan yang sama sekali tidak mengandung unsur korupsi. Menurut saya, ini adalah monolog yang bagus. Pengarang justru tidak menulis korupsi di dalam pemerintahan. Monolog lain adalah Petualang. Maria tertarik kepada Imbang yang ternyata lebih tertarik kepada seorang janda. Kisah ini terjadi saat mereka di SMA. Ujung dari monolog ini adalah saat Maria mulai memakai pakaian yang, paling tidak, dianggap sangat seksi supaya Imbang bisa tertarik kepadanya. Budi Ros juga sudah menuliskan naskah tentang sepeda: Sepeda Baru, bicara tentang olahraga sepeda. Orang masa kini menyebutnya gowes.
Dia juga menulis Anak Merdeka pada tahun 2006. Ini tentang anak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya. Dia minggat karena tidak diperhatikan. Ayah dan ibunya, dulu, selalu melarangnya. Apa saja tindakannya pasti dilarang. Maka, kepada si anak, sekarang ini, dia membebaskan. Si anak boleh berbuat apa saja. Tapi, ini juga ternyata sebuah kesalahan.
Sesudah itu, dia berhenti lagi, mungkin karena kesibukan, atau entahlah, dan baru menulis monolog lagi pada tahun 2020 dan 2021. Ada singkatan nama SBY, dalam sebuah monolog, Presiden. Dan itu bukan nama mantan presiden kita, tapi singkatan nama dari Suwito Budi Yuwono. Yang disebut Pak Presiden ternyata menderita penyakit jiwa yang diganggu oleh waham kebesaran. Dia merayakan hari ulang tahun cucunya, tapi cucu tidak pernah datang. Apa lagi, saat itu, dia juga diprotes oleh para mahasiswa. Dia juga menulis monolog Aktor; Ayah dan Bayangannya, tentang seorang Sukarnois; Guru bagi Semua; Pendekar Sunyi, yang diilhami oleh Hakim Agung Artijo Alkotsar; dan Rumah Bersama, yang menurut dia adalah potret bersama demokrasi Indonesia.
Budi Ros menulis monolog, ada yang 3 halaman atau rata-rata ditulis 5 halaman. Malah ada yang 12, 15, hingga 21 halaman. Tapi kalau menurut halaman yang biasa saya ketik, halaman yang 21 itu mungkin hanya sekitar 10 atau 12 halaman saja. Padahal, di dalam Peksimininas, sudah ditentukan oleh panitia, monolog tidak boleh lebih dari 15 menit. Banyak monolog yang terpaksa diedit, dan ini sangat tidak etis, terutama kepada pengarang. Atau, mungkin saja, kita harus menulis monolog, paling tidak hanya 4 atau 5 halaman saja dengan spasi rapat. Itu bisa berdurasi 15 menit.
Bagaimanapun, menulis sebuah drama itu sulitnya bukan main. Sepotong drama pendek (berdurasi 1 jam) atau drama panjang (durasi 2,5 jam atau 4 jam) luar biasa susah. Tapi, penulisnya harus paham, tak mungkin menulis seadanya. Paling tidak, harus paham apa yang akan ditulis. Di situlah letak kesulitannya. Seorang penulis tentu harus banyak membaca, melihat, merasakan (lewat jantung-hati-rasa) apa yang dilihat. Wajib memiliki empati dan simpati. Dan dia juga harus kritis terhadap apa yang terjadi sekarang ini, dan tentu saja, memahami sejarah masa lampau.
Misal, saat menulis, kita harus mengenal masalah dan tokoh- tokoh lakon (eksposisi), kemudian masalah berkembang menuju konflik (konflik), lalu terjadi perbenturan (komplikasi). Kemudian, ada pencarian jalan keluar (krisis/klimaks), persoalan diselesaikan (resolusi/antiklimaks) dan konflik pun berakhir (solusi). Itu yang harus dipahami penulis drama. Nah, menulis monolog, meski halamannya cuma 4, 5, atau 10 halaman, lakonnya, kan, berbeda? Yang paling celaka, banyak orang, mungkin tidak ingin menulis naskah drama. Bisa jadi, para penulis lebih suka mengarang novel. Sebuah novel yang laris, bisa juga difilmkan. Dan tentu saja, ada uangnya.
Penulis harus memilih “yang paling penting” dari seluruh dramanya. Artinya, pemeran harus bisa masuk ke dalam peranan, meski latar belakang kehidupan tidak diceritakan. Kadang, bisa saja, dalam monolog ada penyelesaian. Tapi, bisa juga tak ada penyelesaian. Tidak ada ujung lakon, sesungguhnya, itu cara kita memilih “yang paling penting” dalam lakon yang ditulis. Ini bagian yang harus diperhatikan. Itulah awal kita membaca, kemudian memainkannya.
Di zaman Brandes, memonologkan lakon Yunani ada kisahnya. Di era Shakespeare juga ada kisahnya. Monolog masa kini adalah monolog yang bebas merdeka dan bisa leluasa bergerak. Memainkan peran monolog sama susahnya dengan memainkan drama pendek atau panjang. Sebab, tak ada latar belakang lakon si pemeran. Bahkan latar depannya pun sering tak ada pula. Tak ada lakon hidup yang dikisahkan dalam naskah monolog. Para pemeran yang harus rajin mencarinya. Lalu, sebetulnya, apa sih monolog itu?
Monolog sekaligus juga berarti monodrama. Intinya, dimainkan oleh satu aktor atau aktris saja. Kadang, diperkuat sekumpulan aktor-aktris yang tidak bersuara. Hanya bergerak saja. Bisa juga ada chorus (sekumpulan aktor-aktris) yang menjadi latar belakang permainan aktor-aktris tunggal itu, dan dinyanyikan. Monodrama dipopulerkan aktor bernama Brandes, di Jerman, antara 1775–1780. Sifatnya sebagai hiburan penyeling acara. Yang dimainkan adalah potongan drama panjang karya Aeschylus (525–450 SM). Tradisi monodrama itu sebetulnya sudah dilakukan William Shakespeare dalam berbagai karya dramanya. Dia menyebut bagian itu bukan monodrama, tapi solilog (soliloquy). Itulah adegan ketika pelakon mengungkap pikiran dan perasaannya sendirian, tanpa ada pelakon lain. Monodrama dalam karya Aeschylus, atau solilog, merupakan bagian dari sebuah drama panjang. Di dalam monodrama, aktor itu sumber energi paling utama. Para penulis yang melahirkan monodrama: August Strindberg, Anton Chekhov, Eugene O’Neill, dan Samuel Beckett.
Di Indonesia, kini, monolog malah sangat disukai. Gaya itu menjadi sebuah tren. Saya berharap, monolog-monolog Budi Ros ini bisa dimainkan oleh siapa saja. Ada monolog yang jawaban si tokoh ada di layar, berupa tulisan. Kalau ada pemain lain, nanti bisa dicari oleh sutradara bagaimana cara mengatasinya. Sebuah tantangan. Ini karya yang bagus.
Juni 2021, Jakarta. NR.