CATATAN PENERBIT “PERTUMBUHAN DI ATAS MEJA MAKAN”
Adalah absurd ketika Afrizal Malna menawarkan Pertumbuhan di Atas Meja Makan untuk diterbitkan oleh Kalabuku: si penulis sendiri tidak punya naskahnya dan tak tahu siapa yang masih menyimpannya. “Dulu naskahku dibuat sepotong-sepotong, digunting-gunting. Aku pernah lihat Dindon (Dindon WS, sutradara Teater Kubur, dahulu aktor Teater SAE—ed.) menempelnya di buku telepon. Jadi menarik banget. Ketika kutanya lagi, sudah tidak ketemu,” kata Afrizal.
Dalam pengantar untuk Teks-Cacat di Luar Tubuh Aktor (Kalabuku, 2017), Afrizal juga memerikan ikhwal raibnya dan kemunculan kembali lakon ini: “Kemudian saya juga mendapat kabar dari Yayasan Lontar yang akan menerbitkan salah satu naskah saya: Pertumbuhan di Atas Meja Makan. Mereka memberikan surat kontrak dan honor untuk penerbitan itu. Sementara sebenarnya saya masih heran: dari mana mereka bisa mendapatkan naskah itu? Baru dua atau tiga bulan kemudian mereka mengontak saya lagi bahwa mereka belum bisa menemukan naskah itu, dan memintanya kepada saya kalau saya memiliki dokumentasinya. Tentu saja saya tidak punya. Tentu saja saya bertambah heran dengan semua ini. Ketika Yayasan Lontar akhirkah drama Indonesia, pada jilid ke-4, saya menemukan naskah Pertumbuhan di Atas Meja Makan ada di sana. Saya heran, bagaimana mereka bisa mendapatkannya.”
Bagaimana sebuah penerbit menerima tawaran penerbitan naskah dari penulis, yang naskahnya sendiri tidak ada? Mungkinkah ingatan diterbitkan? Tentu saja kami tidak berhak menggunakan naskah yang telah diterbitkan Yayasan Lontar sebagai sumber penerbitan, karena secara editorial ia telah menjadi milik yayasan tersebut. Maka kami mulai pencarian, seperti menyebar pengumuman anak hilang.
Tidak butuh waktu yang lama untuk mencari “si anak hilang”. Dendi Madya, seorang pegiat teater Jakarta, masih menyimpan hasil pindai dari fotokopian naskah yang diketik manual. “Itu mengingatkan aku dengan ciri ketikanku. Jadi itu memang ketikanku yang kayaknya aku susun ulang setelah seluruh naskah rampung,” Afrizal mengomentari dokumentasi naskah temuan kami itu.
Manuskrip naskah ini diketik sepanjang 19 halaman kuarto. Pada sampulnya, Afrizal menyebut dirinya sebagai editor, bukan penulis. Sikap ini barangkali dipilihnya karena sebagian tubuh Pertumbuhan di Atas Meja Makan adalah kutipan dari berbagai sumber. Tak ada tanda tanggal penyusunan pada naskah tersebut; yang ada hanya tanda tempat penyusunan: Bekasi. Hal lain yang menarik adalah Afrizal menyebut lakon ini sebagai “drama”; sebuah penyebutan yang agaknya tak lagi digunakan oleh Afrizal yang kini.
Pertumbuhan di Atas Meja Makan, sebagai sebuah teks, bisa dibaca sebagai teks-pascapanggung, suatu teks—sekaligus dokumentasi—tertulis yang pernah menjadi bagian dari pergulatan proses penciptaan pertunjukan oleh Teater SAE—dipentaskan di Teater Tertutup, TIM, 1991. Darinya, kita bisa membaca bagai-mana teater memunguti teks-teks di sekitarnya, dan bahkan menggaet teks-teks yang jauh darinya, guna diangkut ke dalam diri teater. Dan teater punya keleluasaan untuk mencincang, membumbui, merebus, menggoreng, atau mengunyah mentah teks-teks itu.
Kalabuku berterima kasih kepada Dendi Madya yang telah memberikan dokumentasi manuskrip nas-kah ini. Terima kasih pula kepada Areispine Dymussaga Miraviori yang menawarkan satu perspektif pembacaan terhadap lakon ini; juga terhadap dua lakon Afrizal lainnya yang telah kami terbitkan dalam Teks-Cacat di Luar Tubuh Aktor tiga tahun lalu.
Selamat menikmati perjamuan di atas meja makan Afrizal. Semoga bertumbuh. •
Kalabuku