Catatan Penerbit “Teater Kedua”
Ada kebahagiaan tersendiri ketika Afrizal Malna menyambut dengan antusias keinginan Kalabuku untuk menerbitkan kembali Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata (Yogyakarta: iCAN, 2010). Betapa tidak, buku yang sudah banyak difotokopi—karena habis di peredaran—ini menempati posisi penting dalam catatan sejarah dan cara pembacaan teater Indonesia. Esai-esai di dalamnya menarasikan diri sebagai cara pembacaan yang langka dan kritis terhadap teater sebagai peristiwa kehidupan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Afrizal memang salah satu manusia unik yang dimiliki teater (dan) Indonesia.
Afrizal melakukan perombakan yang cukup signifikan dalam edisi baru buku ini. Pada judul, kata “perjalanan” dienyahkan karena—menurut Afrizal—judulnya terlalu panjang. Padahal buku ini punya perjalanan yang cukup panjang: tertunda penerbitannya selama 12 tahun, mengalami penyulaman hingga bisa terbit pada 2010, sobek-tambal-sulam lagi, lalu mendekam dua tahun di Kalabuku, barulah menjelma edisi baru ini.
“Dua tulisan mengenai teater kampus aku cabut, karena tidak memberikan kontribusi untuk perkembangan buku,” kabar Afrizal. Walaupun buku ini sebelumnya ia sebut sebagai “kuburan teater” dan akhirnya bisa terbit “setelah penulisnya mati”, rupanya Afrizal memberikan perhatian serius terhadap kehidupan dan perkembangan buku ini. Barangkali seperti seorang keturunan merawat kuburan leluhurnya. Hal-hal yang tak kontributif dienyahkan dari tubuh buku. Lalu beberapa tulisan baru ditambalkan ke dalamnya: tulisan-tulisan dari beberapa pertunjukan teater di luar Indonesia.
Ada juga tambahan galeri waktu “Era para Bintang” (1891– 1929) serta “Modernisme dan Kaum Urakan” (1954–1979). Galeri waktu ini bukan sekadar galeri kronik teater Indonesia, melainkan juga peristiwa-peristiwa dunia semasa yang barangkali berpengaruh, baik langsung maupun tak langsung, terhadap perkembangan teater di Indonesia.
Foto-foto bertebaran di buku ini, dan bukan sekadar menjadi arsip visual yang mendukung tulisan. Banyak foto yang mewujud sebagai esai visual: memberi konteks pada tulisan, dan/atau malah menjadi interteks yang menyajikan kemungkinan pada pembaca untuk melakukan jelajah wacana melampaui apa yang tertulis. Penempatan sejumlah foto pun cenderung acak, sehingga mengimpresikan bahwa yang tersurat dan yang visual bisa berjalan sendiri-sendiri sebagai teks. Sayangnya, resolusi digital sebagian data foto yang kami terima sangat kecil, sehingga sedikit mengurangi detail visual, walau tak terlalu memengaruhi makna kehadirannya sebagai arsip dan esai visual.
Kalabuku berterima kasih pada iCAN dan Titarubi yang telah menyerahkan hak penerbitan edisi baru ini pada kami, ditambah beberapa saran; juga pada Antariksa, editor edisi pertama. Terbitnya buku ini, disandingkan dengan Teks-Cacat di Luar Tubuh Aktor, kumpulan naskah teater Afrizal yang telah kami terbitkan sebelumnya, rasanya cukup lengkap untuk merepresentasikan tubuh-teater-Afrizal. Ya, kedua buku ini bisa dibaca sebagai biografi tubuh Afrizal sebagai tubuh-teater.
Selamat mengelanakan tubuh di teater kedua. Semoga menjadi teater ketiga di tubuh Anda. •
Kalabuku