Dimensi Kemanusiaan Tolstoy dan Studi Karakter Psikologis
Wacana Editor “Lelaki yang Mati”
Sergei Bertensson tak kebagian tiket ketika hendak menonton pentas perdana Lelaki yang Mati oleh Moscow Art Theatre (MAT), 5 Oktober 1911. Namun atas izin anggota MAT, ia bisa menonton dari tangga balkon dengan sumringah. Dirinya yang sama sekali tak pernah tergerak oleh semangat kaum Gipsi, malam itu merasa terombang-ambing oleh lagu-lagu Gipsi yang dinyanyikan hampir sepanjang Tablo II Babak I. Lewat penyutradaraan Vladimir Nemirovich-Danchenko dan Konstantin Stanislavski, lagu-lagu itu bagi Bertensson tiba-tiba membangkitkan gairah yang menjengkelkan, cekatan meluluhkan kesedihan, membanjiri perasaan dengan impresi-impresi yang tak pernah dibayangkan olehnya.
Pengalaman yang tak terlupakan itu meyakinkan Bertensson bahwa ketika masa itu tak ada karya teater yang lebih hebat daripada yang dihasilkan oleh kolaborasi antara Tolstoy dan MAT. Ia mencatat, bahkan peran-peran kecil sekalipun digarap secara detail sehingga tampil sangat organis. Seorang kritikus, Pangeran Volkonskij, memuji silent-act menakjubkan dari Barov yang “hanya” memainkan peran pendukung Juru Tulis, namun bermain sepanjang Tablo I Babak VI nyaris tanpa jeda, dan hanya mengucapkan satu dialog: “Keduanya?” Ini mengingatkan Bertensson pada ungkapan Stanislavski: “Mungkin ada aktor yang miskin, tapi tak ada peran yang miskin.” Kita pun mafhum Stanislavski ingin menekankan tentang tiadanya peran yang kecil, atau miskin karakter, karena untuk memainkan peran yang kemunculannya hanya sekejap sekalipun, ada kekayaan karakter tanpa batas di belakangnya yang harus dijelajahi seorang aktor. Sebaris kalimat yang diucapkan di atas panggung mestinya dikawal dengan setumpuk paragraf argumentasi di belakangnya.
Nemirovich-Danchenko menganggap produksi Lelaki yang Mati oleh MAT semakin menegaskan perjalanan MAT yang telah meninggalkan symbolic period, dan melangkah menuju masa inner psychological truth, guna mengusung kekayaan hidup manusia ke atas panggung. Dan lakon Tolstoy ini dengan baik memfasilitasi tujuan tersebut melalui kuatnya rasa humanisme, penembusan yang halus ke dalam sifat dasar manusia, keyakinan yang begitu dalam terhadap kemanusiaan, serta kehangatan dan simpati sosial dalam diri karakter-karakternya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa elemen-elemen Tolstoyan telah merasuk ke dalam tubuh MAT.
R.I.G. Hughes membaca fenomena MAT di atas secara lebih mendalam, menyelisik pengaruh paham Tolstoyan terhadap teori-teori akting Stanislavski, terutama melalui teori estetika Tolstoy dalam What is Art? yang masyhur itu. Walaupun ada banyak kontradiksi antara teori akting Stanislavski dan teori estetika Tolstoy, Hughes membaca jejak Tolstoyan menapak dengan sukses setidaknya pada garapan-garapan MAT terhadap lakon-lakon Chekhov dan Tolstoy sendiri. Hughes menengarai, walaupun tengah berkutat dengan teorinya yang mengutamakan inner, Stanislavski tetap tergoda aksi panggung ekspresif. Melalui lakon-lakon Tolstoy yang tebal oleh dimensi kemanusiaan itulah Stanislavski bisa mengaplikasikan “yang inner” sambil tetap memberi sentuhan “yang ekspresif”; menggerakkan karakter dari kedalaman motif psikologis, sembari mencipta letupan-letupan aksi fisik atau spektakel.
Kelekatan Stanislavski dengan Tolstoy—walau tak selekat dengan Chekhov—adalah sebuah keniscayaan. Pengalaman pertama Stanislavski sebagai sutradara, dalam Society of Art and Literature, adalah garapannya terhadap lakon Tolstoy: Fruits of Culture. Stanislavski sendiri juga memiliki kekaguman yang kuat pada sosok Tolstoy. “Tak ada satu pun karya fotografi yang mampu melukiskan impresi yang dipancarkan wajah dan figurnya yang begitu hidup,” demikian ia menggambarkan pertemuan pertamanya dengan Tolstoy. “Fotografi tak pernah bisa menangkap mata tajam Tolstoy, mata seorang arif berhati bijaksana, mata yang kadang menusuk tajam, kadang lembut, lalu cerah, menghangatkan jiwa.”
Lelaki yang Mati produksi Moscow Art Theatre (1911): Konstantin Stanislavski berperan sebagai Pangeran Abrezkov. | Foto: wikimedia.org |
Stanislavski sendiri bermain sebagai Pangeran Abrezkov dalam Lelaki yang Mati garapan MAT, di samping membantu penyutradaraan Nemirovich-Danchenko yang bertindak sebagai sutradara utama. Bertensson bercerita bagaimana Nemirovich-Danchenko hampir seharian berada di kediaman Tolstoy, Yasnaya Polyana, pada suatu hari di bulan Oktober 1900, untuk merayu sang penulis agar mengizinkan MAT memproduksi Lelaki yang Mati. Namun dengan berbagai alasan, sang penulis menolak rayuan sang sutradara. Dan Nemirovich-Danchenko mesti menunggu hampir sebelas tahun untuk mendapatkan kesempatan mementaskan lakon ini. Itu pun terjadi setelah kematian Tolstoy, ketika naskah lakon ini diserahkan putri Tolstoy, A.L. Tolstaya, kepada V.G. Certkov, seorang murid dan teman Tolstoy, untuk disunting dan dipublikasikan.
Lagi-lagi, Nemirovich-Danchenko melancarkan rayuan; kali ini kepada Certkov. Ia tetap mengharap sesuatu yang spesial: MAT menjadi teater profesional pertama yang mementaskan Lelaki yang Mati. Ia bertanya pada Certkov, apakah ada proyek kemanusiaan Tolstoy yang belum terwujud setelah sang penulis besar meninggal. Certkov menjawab, ada sebuah proyek amal peningkatan taraf hidup kaum tani desa yang bekerja di perkebunan Yasnaya Polyana, yang terbengkalai karena kekurangan dana setelah kematian Tolstoy. Aha! Wajah Nemirovich-Danchenko gemilang, “Bisakah MAT memperoleh izin eksklusif untuk mementasperdanakan Lelaki yang Mati sebelum diterbitkan untuk khalayak umum? MAT akan membayar sepuluh ribu rubel guna melanjutkan proyek amal Tolstoy yang tertunda, ditambah dengan royalti sepuluh persen dari hasil penjualan tiket setiap pertunjukan.” Certkov menerimanya.
Lelaki yang Mati produksi Moscow Art Theatre (1911): Tablo II Babak VI, di koridor gedung pengadilan wilayah, di mana lakon diakhiri. |
Nemirovich-Danchenko sepertinya membaca dengan baik dimensi kemanusiaan Tolstoy. Barangkali ia tahu bagaimana kisah Tolstoy menulis Lelaki yang Mati yang bersumber dari kasus nyata N.S. Gimer. Dari tulisan Aylmer Maude di epilog buku ini kita bisa menyimak bagaimana misi kemanusiaan Tolstoy bergerak di dalam dan di luar teks lakon. Di dalam teks, ia mengubah alur lakon setelah mendengar cerita langsung dari Gimer, kisah disetir ke arah yang lebih menguntungkan sisi kemanusiaan Gimer; di luar teks, Tolstoy menolong Gimer untuk mendapatkan pekerjaan setelah menjalani masa pengasingan karena putusan pengadilan.
Barrett H. Clark melihat tujuan utama Lelaki yang Mati adalah membeberkan kejinya hukum perceraian di Rusia terhadap dimensi kemanusiaan. Tolstoy “memanifestasikan” Gimer menjadi Fedya, yang terdakwa di mata hukum, dan menggunakannya untuk berbalik melawan kebengisan hukum itu. Uniknya, Tolstoy tidak memosisikan Fedya sebagai pahlawan. Fedya tetap dengan sikap urakannya melawan hukum yang korup, bahkan dari posisinya sebagai seorang pecundang. Di samping itu, bagi Clark, Fedya adalah lahan studi karakter psikologis yang menarik. Kita bisa membaca sikap Fedya yang urakan, kekejamannya terhadap istri, kesetiaannya pada kekasih, kedalaman permohonan maafnya, budi baiknya pada kaum bawah, pemikirannya tentang pandangan hidup, yang semuanya jadi karakter psikologis yang rumit.
Walau demikian, Clark mengkritik Lelaki yang Mati sebagai lakon yang lemah. Tolstoy yang menurutnya sering tak acuh pada paham lakon well-made, justru mengaplikasikan paham tersebut dalam lakon ini. Kritikus lain, Andrew Wachtel, menganggap lakon ini sebagai tanggapan Tolstoy atas kelemahan lakon-lakon karya Chekhov. Ketika ditantang untuk mengomentari lakon-lakon Chekhov, Tolstoy mengkritik tentang kurangnya “simpul, pusat, dari mana dan ke mana segalanya mengalir”. Memang, bisa kita baca bagaimana kuatnya Lelaki yang Mati terpusat pada Fedya. Enam babaknya seakan hanya dibangun untuk mendorong pergerakan karakter Fedya. Nyaris tak ada cabang-cabang yang berkembang, tak ada alur sampingan yang dibiarkan tumbuh. Lakon ini seperti berangkat dari sebuah ide untuk lakon satu babak yang “dipaksa” berkembang menjadi enam babak. Ini tentu berbeda dengan lakon-lakon panjang Chekhov yang cabang-cabang alurnya menjulur ke mana-mana. Namun, di luar semua itu, Tolstoy mengakui Lelaki yang Mati—dan novel Hadji Murad—sebagai karya terakhirnya yang paling berharga bagi dirinya sendiri.
Leo Tolstoy bersama Maxim Gorky dan Anton Chekhov (1900), masa ketika Tolstoy mulai menulis Lelaki yang Mati. |
Sebagai penulis dengan bidang jelajah yang begitu luas, membentang dari cerita anak-anak hingga filsafat, Tolstoy jarang bersentuhan dengan dunia panggung. Namun ia memiliki kapabilitas mengorganisasi pewujudan cerita ke atas panggung, kapabilitas seorang sutradara. Ini bisa dilihat dari kedetailan teknis yang dituangkannya dalam manuskrip Lelaki yang Mati, di mana setiap tablo dibagi menjadi banyak scene yang ditandai dengan keluar atau masuknya tokoh. Format naskah seperti ini biasanya terdapat pada naskah yang menjadi pegangan dalam proses pemanggungan lakon, yang mana naskah lakon di-breakdown ke dalam bagian-bagian kecil tertentu untuk memudahkan pengorganisasian proses latihan dan pemanggungan. Bukti lain dari kapabilitas Tolstoy sebagai sutradara adalah kerja penyutradaraannya secara amatir terhadap lakon Fruits of Culture di Yasnaya Polyana, sepuluh tahun lebih sebelum ia menulis Lelaki yang Mati.
Catatan Editorial
Sumber utama terjemahan Lelaki yang Mati ini adalah The Living Corpse: A Drama in Six Acts and Twelve Tableaux (1919), terjemahan Anna Monossowitch Evarts. Sebagai pembanding, digunakan The Man Who Was Dead (dari mana judul Lelaki yang Mati diadopsi), yang diterbitkan bersama dua lakon karya Tolstoy lainnya, The Light That Shines in Darkness dan The Cause of It All, dieditori oleh Hagberg Wright (1912). Keduanya didukung dengan sebuah edisi Rusia yang diarsipkan dalam www.rvb.ru.
Terjemahan Evarts yang berdasar pada manuskrip Tolstoy membagi tablo ke dalam beberapa adegan (scene). Umumnya, pergantian adegan terjadi menjelang adanya satu (atau lebih) tokoh yang masuk atau setelah ada satu (atau lebih) tokoh keluar. Sebuah adegan baru—selain ditandai dengan nomor adegan—umumnya dibubuhi dengan daftar tokoh yang terlibat dalam adegan tersebut. Namun pola pergantian adegan ini diterapkan dengan tidak konsisten: beberapa peristiwa masuk dan keluarnya tokoh tidak dibarengi dengan pergantian adegan; beberapa adegan dimulai atau diakhiri setelah—bukan menjelang—adanya tokoh masuk; beberapa adegan tidak mencantumkan daftar tokoh.
Karena alasan ketidakkonsistenan di atas, pembagian adegan dihilangkan dalam edisi bahasa Indonesia ini—hal yang juga dilakukan dalam edisi Wright. Namun nomor adegan tetap dimunculkan dengan menyisipkannya di luar margin naskah. Penghilangan pembagian adegan ini berimbas pada hilangnya daftar tokoh dalam masing-masing adegan dan beberapa tanda masuk dan keluarnya tokoh; karena ada beberapa bagian naskah yang tidak membubuhkan teks petunjuk untuk masuk dan keluarnya tokoh, dan hanya ditandai dengan nomor pergantian adegan. Untuk mengatasi masalah tersebut, edisi bahasa Indonesia ini menambahkan beberapa teks petunjuk ringkas, yang dibubuhi dengan tanda “*” di akhir setiap teks tambahan.
Referensi
Bertensson, Sergei. 1955. “The History of Tolstoy’s Posthumous Play” dalam The American Slavic and East European Review, Vol. 14, No. 2, April 1955.
Clark, Barrett H. 1914. The Continental Drama of Today. New York: Henry Holt and Company.
Hughes, R.I.G. 1993. “Tolstoy, Stanislavski, and the Art of Acting” dalam The Journal of Aestethics and Arts Criticism, No. 51:1, Winter 1993.
Maude, Aylmer. 1912. “Tolstoy as Dramatist” dalam Lev N. Tolstoy, The Light That Shines in Darkness, The Man Who Was Dead, The Cause of It All, ed. Hagberg Wright. Boston: Dana Estes & Company dan Dodd, Mead and Company.
Stanislavski, Constantin. 1956. My Life in Art, penerj. J.J. Robbins. New York: Meridian Books.
Tolstoy, Lev N. 1912. “The Man Who Was Dead” dalam The Light That Shines in Darkness, The Man Who Was Dead, The Cause of It All, ed. Hagberg Wright. Boston: Dana Estes & Company dan Dodd, Mead and Company.
Tolstoi, Leo N. 1919. The Living Corpse: A Drama in Six Acts and Twelve Tableaux, penerj. Anna Monossowitch Evarts. New York: Nicholas L. Brown.
Wachtel, Andrew. 1992. “Resurrection à la Russe: Tolstoy’s ‘The Living Corpse’ as Cultural Paradigm” dalam PMLA, Vol. 107, No. 2, Maret 1992.