Pengantar Edisi Bahasa Indonesia
Dramaturgi Pascadramatik: Resonansi antara Asia dan Eropa
Kai Tuchmann
Postdramatic Dramaturgies: Resonances between Asia and Europe terbit pada Maret 2022. Saya sangat bersyukur dan senang dengan terjemahannya yang pertama ini—dalam bahasa Indonesia. Saya sangat berutang budi kepada Ibed S. Yuga dari Kalabuku. Kalimat-kalimat berikut ini adalah upaya untuk memudahkan para pembaca terjemahan bahasa Indonesia di masa mendatang saat membaca buku saya, dengan menyoroti secara singkat konteks di balik penerbitannya. Hal ini sangat penting karena menandai publikasi buku terjemahan pertama tentang teater pascadramatik dalam bahasa Indonesia.
Buku saya diawali dengan moto berikut—yang diambil dari kata pengantar kumpulan puisi Rumput Liar (Wild Grass) karya Lu Xun:
Dari tanah liat kehidupan yang ditinggalkan di tanah tidak menumbuhkan pohon-pohon tinggi, hanya rumput liar. […]
Rumput liar tidak memiliki akar yang dalam, tidak memiliki bunga dan daun yang indah, tetapi ia menyerap embun, air, darah, dan daging orang mati […]. Selama hidup, ia diinjak-injak dan dipotong, sampai mati dan membusuk.
Namun, aku tidak khawatir; aku senang. Aku akan tertawa keras dan bernyanyi.
Saya teringat kembali dengan moto tersebut ketika menulis pengantar untuk edisi bahasa Indonesia ini, karena dalam waktu yang lama saya sebenarnya ingin memberi judul buku ini “Rumput Liar”. Namun, persoalan-persoalan yang biasa terjadi dalam proses penerbitan membuat saya mempertimbangkan kembali judul awal ini (judul yang agak membosankan, Postdramatic Dramaturgies: Resonances between Asia and Europe, memudahkan algoritma pencarian dalam mengidentifikasi buku ini bagi para pembaca buku teater). Sekarang, saya ingin membangkitkan kembali judul awal tersebut karena saya benar-benar merasa bahwa Rumput Liar karya Lu Xun secara sempurna berhasil membahasakan praktik-praktik teater yang ada dalam buku ini. Praktik-praktik yang terutama tidak peduli dengan masalah keindahan, dan seperti rumput liar, praktik-praktik yang memelihara hubungan dengan realitas, yang halus dan sering kali terabaikan, sejarah orang-orang sebelum kita yang terabaikan dan terlupakan. Dalam beberapa hal, memunculkan kembali Rumput Liar karya Lu Xun menunjukkan nilai guna praktik-praktik teater yang ada dalam buku ini, karena mereka tidak membiarkan arsip-arsip tertidur.
Buku ini sendiri bisa dianggap sebagai arsip; arsip pertemuan dan dialog yang terjadi selama praktik saya sebagai dosen tamu di Central Academy of Drama, Beijing, tempat saya bersama Li Yinan mengembangkan program sarjana studi dramaturgi, yang merupakan yang pertama di Asia. Kami mengembangkan program kami hampir mirip dengan Institute for Applied Theatre Studies, Justus Liebig University Giessen, Jerman. Giessen dianggap sebagai pusat teater pascadramatik. Teater pascadramatik sendiri tidak lagi menyajikan teks yang ditulis oleh seorang penulis, tetapi mengambil teks dan menempatkannya secara demokratis di samping aspek-aspek teatrikal lainnya, seperti cahaya, atmosfer, fisikalitas tubuh, dll. Sampai batas tertentu, teater pascadramatik mengubah perkumpulan teaterikal menjadi satu bentuk yang terbuka. Dan dilihat dari perspektif ini, ia adalah genre pertunjukan yang tidak pasti. Mirip dengan buku Rumput Liar karya Lu Xun yang merupakan genre sastra yang tidak stabil dan tidak pasti: memadukan fiksi, puisi, prosa argumen, dan bahkan dialog teatrikal.
Kami menjadikan wacana teater pascadramatik sebagai salah satu dari dua pilar kurikulum dramaturgi di Beijing. Pilar lainnya adalah praktik teater independen dari Tiongkok daratan yang sudah ada, yang disebut juchang, yang dimulai pada 1980-an. Dalam buku ini, saya ingin menggarisbawahi interaksi kedua praktik teater tersebut yang kemudian menghasilkan teater kontemporer yang benar-benar menarik dan relevan, yang sebagian besar tidak diperhatikan oleh para akademisi. Untuk menggambarkan kekhususan interaksi ini dalam ranah bahasa, saya memilih kata resonansi. Dalam fisika, istilah resonansi (dari bahasa Latin resonare: bergema/berkumandang) mengacu pada hubungan antara dua benda, di mana yang satu membuat yang lain bergetar. Inti dari fenomena resonansi adalah bahwa gema benda yang lain terjadi seturut frekuensinya sendiri. Buku ini ingin menggambarkan resonansi teater yang spesifik dengan menelusuri bagaimana gagasan pascadramatik menstimulasi skena-skena teater di Korea dan—khususnya—di Tiongkok daratan. Dan sebaliknya, bagaimana pengenalan juchang memengaruhi produksi teater di Eropa.
Saya menerbitkan buku ini dengan latar belakang komunitas akademisi teater yang sebagian besar berbahasa Inggris. Bias bahasa ini juga bisa membentuk perspektif, nomenklatur, dan cakupan minat sebagian besar komunitas teater. Dengan pendekatan komparatif (yang pada dasarnya berarti perspektif Tiongkok-Jerman), saya ingin mengganggu hegemoni Anglo/Amerika dengan memperkenalkan resonansi Jerman-Tiongkok yang secara kronis kurang diteliti dalam perdebatan global yang dikuasai oleh bahasa Inggris.
Saya berharap kajian tentang resonansi ini akan bermanfaat bagi para akademisi teater dan menjadi inspirasi bagi para pembuat teater yang mapan dan bercita-cita tinggi di Indonesia, yang kini dapat mengakses Postdramatic Dramaturgies: Resonances between Asia and Europe dalam terjemahannya yang pertama, dalam bahasa Indonesia! Sejak buku ini diterbitkan, saya merasa beruntung karena bisa memperkenalkannya ke beberapa komunitas pembuat teater di seluruh dunia, misalnya di Thailand, India, Jerman, Swiss, AS, dan tentu saja Indonesia.
Dalam konteks ini, lokakarya yang saya selenggarakan di Yogyakarta, 30 Januari–4 Februari 2024, sangat layak untuk saya sebutkan. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) dan Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien. Ada yang memberi tahu saya bahwa lokakarya tersebut adalah lokakarya teater pertama yang mempertemukan para pembuat teater dari seluruh Indonesia—dan dengan demikian berupaya untuk memutus dominasi Jawa di bidang budaya. Bagi saya, hari-hari lokakarya tersebut terasa sangat intens karena menjadi semacam selang waktu di mana saya dapat secara langsung mengamati bagaimana premis dan teori publikasi saya dipahami. Para peserta lokakarya secara signifikan memperluas percakapan tentang apa itu “pascadramatik” dan bagaimana ia bisa diterjemahkan ke dalam pertunjukan bagi para penonton dan pembuat teater Indonesia. Saya ingin menutup pengantar singkat ini dengan menyoroti beberapa pemikiran saya yang muncul saat menanggapi berbagai umpan balik tentang buku ini yang saya terima selama lokakarya tersebut.
1. Teater Pascadramatik Setidaknya Merupakan Kerangka Epistemologis Sekaligus Teknik
Teater pascadramatik setidaknya merupakan kerangka epistemologis sekaligus teknik. Tentu saja, ada repertoar yang secara spesifik menggunakan teknik-teknik pascadramatik: mencakup penekanan pada hal-hal fisik dan jasmani (bukan semantik), pengorganisasian peristiwa-peristiwa simultan di atas panggung (yang mendorong penonton untuk secara aktif memilih dan menyusun makna di balik tindakan-tindakan teatrikal itu sendiri), penggunaan ritme dan pengaturan waktu yang disengaja, penggabungan peristiwa-peristiwa nyata ke dalam proses pemanggungan, fokus pada pengalaman-pengalaman pribadi, presentasi gestur demonstratif alih-alih perwujudan psikologis karakter-karakter. Semua elemen ini tidak diragukan lagi merupakan aspek-aspek teknis teater pascadramatik.
Namun, saya ingin mengajak para pembaca buku ini untuk memandang teater pascadramatik terutama bukan sebagai sebuah teknik. Bagi saya—serta bagi para penulis dan karya-karya yang ada dalam buku ini—teater pascadramatik terutama merupakan sebuah sikap terhadap dunia yang bisa diceritakan/dinarasikan. Teater pascadramatik tidak memercayai asumsi yang menyatakan bahwa dunia dapat direpresentasikan secara memadai melalui mimesis, konflik dramatik, dan perwujudan psikologis karakter yang dilakukan oleh para aktor.
Sebaliknya, teater pascadramatik lebih menyukai keterbukaan radikal dalam hal-hal formal. Ia berusaha untuk terlibat dengan pokok bahasan yang ingin disampaikan sejauh mungkin. Singkatnya, metode teater pascadramatik yang sebenarnya adalah jalan memutar. Dan tepatnya, inilah sikap epistemologisnya yang khas terhadap dunia: teater yang berusaha menghindar sejauh mungkin dari usaha mereduksi peristiwa nyata menjadi konsep, kategori, atau penilaian abstrak. Sebaliknya, politik radikalnya terletak pada penolakan untuk memberikan kesimpulan-kesimpulan yang sudah dirumuskan dan dinilai sebelumnya kepada penonton; dan sebagai gantinya, ia menciptakan bentuk-bentuk yang mengubah posisi penonton menjadi rekan penulis dalam setiap pertunjukan.
Satu kutipan yang sering dikaitkan dengan pembuat film Prancis Jean-Luc Godard, “Bukan membuat film politik, melainkan membuat film secara politis,” sepenuhnya berlaku untuk teater pascadramatik. Sementara, teater dramatik yang sering berbicara tentang kesetaraan, kebebasan, dan keadilan, sebagian besar estetikanya bergantung pada kepasifan struktural penonton, yang menjadi penerima pikiran yang telah dirumuskan sebelumnya. Sebaliknya, estetika pascadramatik bertujuan untuk menjadikan penonton sebagai rekan kreator dalam setiap pertunjukan, menyerahkan banyak keputusan kepada mereka selama produksi berlangsung.
Namun, kutipan Godard tidak hanya merujuk pada dampak estetika seni, tetapi juga—secara konkret—pada kondisi produksinya. Bukan kebetulan bahwa sebagian besar karya yang ditampilkan dalam buku ini berasal dari kelompok teater yang menempuh jalur yang sangat individual untuk mengembangkan metode produksi mereka sendiri—terpisah dari batasan dan norma industri teater Jerman atau Tiongkok. Industri-industri yang, melalui periode latihan dan pertunjukan yang sudah ditentukan sebelumnya, membentuk estetika teater secara signifikan. Kelompok-kelompok yang ada dalam buku ini terbentuk dengan ambisi untuk mengembangkan teater secara berbeda, sering kali dengan periode latihan yang panjang, yang kadang memungkinkan satu karya dikerjakan selama bertahun-tahun.
2. Perspektif Pascadramatik Memerlukan Praktik Dramaturgi yang Berbeda
Perspektif pascadramatik memunculkan praktik dramaturgi yang sangat khas. Sikap pascadramatik yang spesifik terhadap kemampuan dunia dalam bercerita menghasilkan pendekatan dramaturgi yang unik. Dalam teater dramatik, produksi dan dramaturgi sering kali terbatas pada penelitian literatur sekunder yang terkait dengan lakon dramatik, dan—yang terpenting—penulisan naskah lakon yang bisa dimainkan. Namun, dalam teater pascadramatik, lakon—atau lebih tepatnya, skor pertunjukan—dikembangkan selama proses latihan. Dimensi pengembangan ini secara signifikan mengubah fungsi dramaturgi. Buku saya sepenuhnya percaya bahwa masa depan teater adalah dramaturgi, dan bahwa jika Anda ingin membuat pertunjukan kontemporer, Anda memerlukan kerangka kerja dramaturgi pascadramatik. Menurut pendapat saya, dramaturgi pascadramatik adalah praktik meliyankan (othering). Dramaturg menjadi liyan (other) bagi dan di dalam proses kreatif. Dan lebih dari itu, dramaturgi pascadramatik memastikan keikutsertaan liyan dan keliyanan (otherness) dalam proses kreatif. Liyan selalu melibatkan semacam disonansi, semacam fragmentasi—dramaturgi pascadramatik tidak bertujuan untuk menciptakan keutuhan yang sempurna. Ia berupa pengakuan akan perbedaan dan kompleksitas.
Dalam dua atau tiga dekade terakhir, ada minat yang besar terhadap dramaturgi dalam skala global. Dari perspektif sejarah (terutama mengingat konteks Lessing dan Brecht), dramaturgi selalu menjadi relevan ketika masyarakat menghadapi krisis dalam memahami seni: ketika mereka menjadi tidak yakin tentang apa saja yang bisa dianggap sebagai “seni”. Mungkin hal ini juga bisa menjelaskan minat kontemporer dalam dramaturgi, karena konsepsi seni modernis—yang dipahami sebagai seni otonom—sangat bermasalah. Yang khas dalam pemahaman seni modernis ini adalah keyakinan bahwa tujuan seni berada dalam dirinya sendiri. Seni saat ini, sebaliknya, semakin sering dihadapkan dengan permintaan banyak pihak demi tujuan yang berada di luar ranah seni. Krisis termutakhir mengenai pengertian seni tampak dari fakta tentang kita yang terus-menerus memperdebatkan kegunaannya: seni harus berkontribusi pada wacana dan politik mengenai berbagai topik, seperti keberagaman, pemanasan global, ketidaksetaraan gender. Para seniman menawarkan diri untuk mengampanyekan isu-isu ini—yang sebenarnya menempatkan non-seni di pusat praktik mereka.
Dalam lanskap yang berubah ini, dramaturgi memainkan peran kunci karena dramaturgi pascadramatiklah yang memoderasi sinkronisasi antara seni dan non-seni. Dengan menyusun komunitas interpretatif yang mempertanyakan dunia yang kita huni sekarang, dramaturgi ini menambahkan fungsi-fungsi (yang dapat digunakan) pada karya seni (yang otonom). Produksi World Factory karya Zhao Chuan adalah contoh yang sangat baik dari pemikiran dramaturgi semacam itu: World Factory dirancang untuk dipentaskan di kota-kota yang terus berubah, dan penonton yang terus bergeser, agar bisa menempatkan pertunjukan di antara para penonton buruh dan migran yang memendam pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pertunjukan ini.
3. Teater Pascadramatik Tidak Menentang Drama, tetapi Berupaya Memperluas Kemungkinan Teater
Teater pascadramatik tidak menentang drama; sebaliknya, ia berupaya memperluas kondisi-kondisi pengembangan teater. Dalil teater pascadramatik tidaklah menyatakan bahwa semua teater dramatik secara otomatis ketinggalan zaman atau inferior. Justru sebaliknya, teater pascadramatik tidak bertujuan untuk menggantikan apa pun, tetapi sekadar memperluas cakupan teater.
Dalam pengertian tertentu, konsep pascadramatik bahkan bersifat agak konservatif karena kembali ke struktur fundamental tragedi kuno—pradramatik—dan berupaya merundingkan kembali dramaturgi tersebut untuk masa kini. Dari perspektif ini, teater pascadramatik bukanlah “objek baru yang mengilap”, melainkan objek yang sudah dikenal sebelumnya.
Tragedi kuno pada dasarnya memiliki prinsip dramaturgi berupa serangkaian elemen yang berulang: ratapan sang pahlawan, dialog antarprotagonis, dialog stichomythia yang berirama, paduan suara, serta penyertaan doa dan ritual (nyata) dalam aksi dramatik. Elemen-elemen ini selalu muncul dalam setiap lakon tragedi yang kita kenal. Seni (artistry) penggunaannya dalam setiap pertunjukanlah yang memikat penonton—bukan alur cerita mitis dari lakon-lakonnya, karena alur cerita mitos-mitos ini sudah diketahui oleh penonton. Kualitas seremonial dan rasa kedekatan mutlak inilah yang menghubungkan tragedi pradramatik dengan teater pascadramatik.
4. Bentuk Utama Teater Pascadramatik Adalah Teater Dokumenter
Salah satu bentuk teater pascadramatik yang paling penting adalah teater dokumenter. Lakon-lakon yang disertakan dalam buku ini didasarkan pada peristiwa historis dan nyata. Mereka menggunakan ruang pertemuan teater untuk membingkai ulang kejadian-kejadian nyata itu. Dalam pengertian ini, semua lakon dalam buku ini mewakili teater dokumenter. Teater dokumenter berfungsi sebagai bentuk historiografi alternatif, yang didorong oleh keinginan untuk membangkitkan arsip-arsip (personal dan kultural) dan menegosiasikan kembali masa lalu secara berlawanan dengan latar belakang tantangan-tantangan kontemporer. Karakteristik teater dokumenter ini menunjukkan sifat mendasar dari pascadramatik. Jauh dari sekadar tren baru dalam wacana akademis, ia adalah bentuk teater yang secara aktif terlibat dengan dunia sekaligus bertindak di dalamnya. Dalam pengertian yang tepat ini, teater pascadramatik adalah bentuk teater publik dan terbuka yang menghubungkan ingatan kita dengan apa yang kita hasratkan.