Pertemuan di Marga Telu
Catatan Penulis Janger Merah
September 2015, kutemukan diriku lahir di tengah keluarga eks simpatisan PKI—baik keluarga ayah maupun ibu-ku. Aku terperangah. Ada getaran aneh di dalamku. Kenapa baru kali ini aku menyadarinya (baca: menemukannya)? Dalam babak sejarah politik seputaran 1965, saat ayah dan ibuku masih berusia sekitar lima tahun, aku mengira keluarga ayah dan ibuku ada di bagian item (istilah untuk menyebut simpatisan PNI). Aku salah. Nyatanya mereka ambil bagian di blok merah (simpatisan PKI). Dan entah kenapa kesadaran ini baru kutemukan tepat setelah 50 tahun peristiwa 1965.
Dulu, ketika masih usia SD (1990-an), beberapa kali kudengar cerita tentang Gestok dari ayah, ibu, nenek, dan kakekku. Cerita tentang di mana mereka bersembunyi ketika itu dan bagaimana mereka menyintas di tengah persembunyian yang genting. Emosiku ketika itu—emosi anak yang telah dicekoki dengan narasi sejarah dan cerita kepahlawanan versi Orde Baru—menganggap mereka ada di “pihak yang benar”. Kekacauan situasi politik serta informasi yang biaslah yang membuat mereka ikut bersembunyi, begitu pikirku.
Aku lupa, apakah ketika SD aku pernah mendapat pelajaran sejarah tentang peristiwa 1965 atau tidak. Pada masa itu, dari televisi tetangga yang hitam-putih, beberapa kali aku menonton film Pengkhianatan G 30 S PKI, namun tak pernah sampai pertengahan—apalagi tuntas—karena keburu mengantuk. Film itu diputar terlalu malam untuk waktu bagian Bali. Hanya satu adegan yang kuingat: pembakaran buku-buku (atau kitab?). Ketika itu, istilah Gestok bagiku dan teman-teman bukanlah hal yang menyeramkan. Kami sering memakainya untuk bahan gurauan antarteman. Salah satu dari kami akan bertanya kepada teman lain, “Kamu tahu, apa kepanjangan Gestok?” Jika yang ditanya tidak bisa menjawab, yang bertanya akan menyergah, “GĆ©s kĆ©n getok!” (“Cakar dan jitak!”) sambil mencakar dan menjitak teman yang ditanyai.
Sejak kecil, aku tahu kuburan massal korban Gestok di kampungku ada di depan bangunan SD di mana aku bersekolah. Kami menyebut wilayah yang dikenal angker itu sebagai Marga Telu (harfiah: jalan tiga), pertemuan tiga jalan. SD itu juga bernomor 3, SD Negeri 3 Batuagung, tempat anak-anak dari dua kampung bersekolah. Kedua kampung ini terletak pada pinggir hutan di bilangan utara Jembrana, Bali.
Setelah 12 tahun tinggal di Jogja, terjun ke dunia teater dan kepenulisan, lalu bergumul dengan buku-buku, aku tidak memiliki ketertarikan pada wacana 1965. Padahal aku menggemari buku-buku sejarah. Hampir selalu, bu-ku-buku tentang 1965 tidak menarik perhatianku. Ini kusadari karena karakter aku sendiri yang tidak suka dengan hal-hal yang sedang jadi arus utama, populer, atau sedang in. Wacana 1965 bagiku terlalu seksi karena ketidakpastian dan sengkarut wacana, fakta, fiksi, mitos, dan kepentingan yang meliputinya.
Ketika aku pulang kampung untuk sebuah urusan, September 2015, aku mendengar kabar bahwa kuburan massal itu akan dibongkar pada 29 Oktober 2015. Kabar tentang pembongkaran inilah yang meramaikan kembali cerita tentang peristiwa 1965 di kampungku, termasuk cerita dari bibiku, kakak dari ayahku. Cerita dari bibiku inilah yang menguak posisi keluarga ayah dan ibuku saat peristiwa biadab itu.
Kepulanganku, kabar akan dibongkarnya kuburan massal di Marga Telu, dan cerita bibiku seperti mengarahkan kepalaku untuk menengok peristiwa 1965, setidaknya dalam lingkup kampungku. Maka, aku memutuskan untuk menengoknya. Aku akan menulis tentang ini, dalam bentuk apa pun, demikian pikirku. Lalu, secara kebetulan, ada telepon dari Dewan Kesenian Jakarta, mengajakku terlibat dalam program Bengkel Riset Naskah Drama yang mengangkat data dan cerita para korban peristiwa 1965, yang dimentori oleh Benny Yohanes. Aku langsung mengiyakannya.
Mulailah aku menengok kampungku di sekitaran 1965, menengok keluargaku, menengok posisiku di kampung yang pernah jadi biadab, menengok tanah di mana ari-ariku dipendam. Marga Telu menjadi titik pertemuanku dengan semua itu sekaligus titik permulaanku menengok semua itu. Namun, aku goyah. Momen menemukan diri lahir dalam keluarga dengan garis merah masih menyisakan sedikit keterperangahan dalam diriku. Aku galau menempatkan diri dalam wacana 1965, di tengah banyak wacana yang demikian heroik memperjuangkan harkat para korban dan penyintas, di tengah wacana yang men-desak negara untuk meminta maaf, di tengah kampung yang juga masih membicarakan peristiwa itu dengan bisik-bisik. Sejujurnya, aku kurang suka dengan wacana saling menyalahkan yang kadang sarat dengan kepentingan politis. Aku juga tidak respek terhadap heroisme pembelaan berlebih yang kadang terlalu memandang peristiwa itu hitam-putih.
Aku menghubungi seorang teman filmmaker, Dwitra J. Ariana, mengajaknya untuk membuat film dokumenter tentang peristiwa pembongkaran kuburan massal itu. Teman lain, Gede Indra Pramana, seorang periset politik, kemudian menyusul kami. Jadilah kami tiga sekawan yang bertemu di Marga Telu dan mencoba menilik peristiwa itu melalui kacamata kami masing-masing. Dari penelitian lapangan dan diskusi, kami bertiga sepakat bahwa pembongkaran kuburan massal dan ngaben para korban itu merupakan sebentuk rekonsiliasi dan konsolidasi tingkat lokal yang sangat bermakna bagi wacana 1965. Dengan bekal kesepakatan inilah kami bekerja, saling berbagi ide dan opini. Kerja kelompok ini pada akhirnya menelurkan karya kami masing-masing: Dwitra membuat film dokumenter Masean’s Messages; Indra menulis artikel “Politik Posmemori dan Strategi Kebudayaan: Pembongkaran Kuburan Massal di Jembrana, Bali”; dan aku menulis lakon ini.
Proses pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965 di Masean, 29 Oktober 2015. | Foto: Gede Indra Pramana |
Tentang Lakon
Lalu, masalah bahasa. Walaupun tidak bergaya realis, sebenarnya aku ingin menggunakan bahasa keseharian para subjek yang kuejawantahkan jadi figur-figur dalam lakon ini. Artinya, lakon ini mesti menggunakan bahasa Bali logat Jembrana, hal yang agak tidak mungkin dalam konteks publik nasional. Alternatif selanjutnya adalah menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Bali. Strategi ini pun tidak kutempuh karena aku pernah melakukannya dalam sebuah lakon tentang tajen di Bali; dan hasilnya seperti bahasa ucap tokoh orang Bali dalam sinetron televisi nasional yang hanya meniru-niru logat Bali de-ngan banal dan stereotip. Aku gagal mengonstruksi bahasa sebagai representasi keseharian. Akhirnya, dalam lakon ini, pilihanku jatuh pada bahasa Indonesia yang ternyata cukup janggal dan kaku. Ini bisa jadi catatan bagi sutradara yang ingin memanggungkan lakon ini: ia bisa memilih gaya bahasa ucap pemanggungannya sendiri.
Sebelum buku ini terbit, lakon ini telah beredar dalam berbagai pentas baca, berkas digital, fotokopian, buku kumpulan lakon, dan terjemahan bahasa Inggrisnya telah terbit dalam dua buku. Dibandingkan dengan versi yang telah beredar sebelumnya itu, versi lakon dalam buku ini telah mengalami banyak perombakan. Meski demikian, banyak bagian dari kesadaranku tentang peristiwa 1965 di kampungku yang belum tertuang dalam lakon. Yang tertulis dalam lakon ini barulah kebimbangan-kebimbanganku semata, belumlah kesadaran yang utuh. Aku masih terus menggali dan membongkar. •
Ibed S. Yuga
*) Dalam lakon ini, aku memilih istilah “figur” untuk hal yang dalam dunia lakon atau drama umumnya disebut “tokoh/watak/karakter”. Bagiku, “tokoh” cenderung berasosiasi dengan manusia-peran; sedangkan dalam lakon ini, mereka lebih sebagai pengejawantahan ide-ide. Di sisi lain, “watak/karakter” bagiku melekat terlalu kuat pada pola-pola lakon realis yang terikat pada tridimensi perwatakan; padahal dalam lakon ini, tridimensi itu diberlakukan dengan sangat longgar, bahkan sering diabaikan.