Pengantar Penulis Arsitektur Tubuh-Kosmik: Joged Amerta Suprapto Suryodarmo
Ya, ini sebuah buku yang terlalu lancang, ditulis oleh seorang yang lancang. Saya sendiri belum begitu paham dengan sosok dan apa yang dilakukan Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto). Lelaki gaek kelahiran 1945 ini adalah subjek yang terlalu besar dan rumit, namun sebaliknya juga dipandang sepele oleh sebagian kalangan. Pengalaman dan aksinya terlalu berjibun, merengkuh berbagai bidang, dalam rentang waktu yang panjang. Sedangkan di sisi lain, perkenalan saya dengan Mbah Prapto sangatlah dini. Itu terjadi menjelang akhir Januari 2010, ketika saya bersama Seni Teku menggelar pertunjukan bertajuk Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) di Padepokan Lemahputih. Sebelumnya, saya bahkan belum pernah mendengar nama Suprapto Suryodarmo, apalagi yang namanya Joged Amerta!
Setelah perkenalan itu saya mulai diajak mengikuti beberapa workshop yang diselenggarakan Mbah Prapto, yang hampir semua pesertanya adalah warga negara asing. Saya dan kelompok teater saya juga kerap diundang dalam beberapa event yang diinisiasi olehnya. Lewat keterlibatan demi keterlibatan itulah saya baru tahu (tepatnya: menyadari) bahwa Suprapto Suryodarmo adalah figur yang besar. Makna besar di sini bukanlah karena ia dikenal di jagat olah gerak di seantero dunia, terutama Eropa, namun lebih karena ide-ide dan apa yang telah dilakukannya.
Dan mulailah keterpengaruhan itu. Saya sendiri, lalu karya-karya teater saya, dipengaruhi sedemikian rupa oleh pemikiran-pemikiran Mbah Prapto yang ditransmisikannya melalui latihan-latihan gerak serta berbagai obrolan. Pengaruh terbesar adalah pada pemahaman dan cara pandang saya terhadap kesadaran terhadap ruang, baik ruang dalam pertunjukan, ruang teater dan ruang kehidupan. Kebetulan pertunjukan Kintir adalah salah satu karya saya yang mencoba melakukan eksplorasi dialog dengan ruang – baik ruang sebagai tempat pertunjukan, ruang sosial-budaya, ruang sejarah, ruang ekonomi, bahkan ruang politik. Kami tengah mencoba mengakrabi ruang yang melingkupi teater dan masyarakat guna lebih mendekatkan peristiwa teater ke peristiwa masyarakat atau publik teater. Eksplorasi teater saya bertemu dengan latihan-latihan Mbah Prapto, dan kemudian dengan mantap mempengaruhi (dan membelokkan) pemahaman dan kesadaran saya terhadap teater dan kehidupan.
Pada 3 Juli 2012, dan saya ingat ketika itu bulan purnama, Mbah Prapto mengutarakan cita-citanya untuk menerbitkan buku tentang dirinya, yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan oleh orang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, ada empat buku yang direncanakan: (1) tentang latihan-latihan geraknya, (2) metode pembelajarannya, (3) pemikiran filosofinya, dan terakhir (4) adalah sebuah biografi. Saya sangat mendukung cita-cita ini, karena sepengetahuan saya – dan sebagaimana pengakuan Mbah Prapto juga – belum ada sebuah buku pun yang mengupas secara mendalam sosok Suprapto Suryodarmo dan apa yang dilakukannya, yang ditulis oleh orang Indonesia. Beberapa tulisan singkat memang ditemukan, berceceran di media massa berkala atau buku-buku kompilasi. Mbah Prapto lebih banyak ditulis oleh orang luar Indonesia, baik dalam bentuk buku utuh maupun tulisan-tulisan lepas dalam buku kompilasi dan jurnal atau berkala lainnya. Menanggapi cita-citanya, saya menyarankan beberapa nama penulis kepada Mbah Prapto, sambil juga mengajukan rencana saya pribadi menulis (entah dalam bentuk buku atau lainnya) berdasarkan berbagai catatan berserak selama saya mengikuti latihan-latihannya. Dan ini adalah cita-cita pribadi saya dalam jangka panjang, ketika saya sudah jauh memahami Mbah Prapto. Namun – “celaka”-nya – Mbah Prapto malah meminta (dengan setengah memaksa) saya untuk menulis keempat buku yang dicita-citakannya.
Saya ragu-ragu. Saya rasa diri saya tidak sanggup, atau mungkin belum. Tapi akhirnya saya menyanggupi nya, karena beberapa alasan. Pertama, karena motif untuk berbalas budi. Kedua, karena saya sadar Mbah Prapto adalah sosok penting, sehingga saya harus mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan – minimal catatan-catatan pengalaman saya bersentuhan dengannya. Ketiga, saya sedang belajar memahami Mbah Prapto dan tengah mencoba menemukan jawaban mengapa ia demikian kontradiktif di tengah orang-orang yang mengenalnya. Saya harap, dengan menulis buku tentangnya, akan semakin banyak hal yang bisa saya pahami darinya, atau paling tidak ada ruang yang lebih luas untuk berdiskusi dengan Mbah Prapto.
Buku ini memang berangkat dari catatan-catatan saya selama terlibat dalam berbagai kesempatan bersama Mbah Prapto, sehingga isinya lebih bersifat pribadi. Lagi, buku ini juga punya tendensi ke diri saya sebagai sutradara teater yang sedang melakukan pembacaan terhadap latar belakang budaya yang melahirkan saya: Bali. Maka tidak salah jika orang yang membaca buku ini kemudian merasa kecewa karena tidak menemukan apa yang dipikirkan atau dicarinya dari sosok Mbah Prapto.
Kenapa teater? Kenapa Bali? Dua ruang inilah yang utama dan selalu menjelma menjadi semacam labirin ketika saya berlatih atau mengobrol dengan Mbah Prapto. Dan kepada dua ruang inilah saya menumpah kan berbagai dialog dengan Mbah Prapto. Kesadaran saya sebagai orang (yang lahir di) Bali dan kini mencoba melakoni teater (kontemporer) diombang-ambing dan dilabuhkan lagi, dipentalkan lalu ditarik kembali, ditabrakkan kemudian direngkuh lagi, sehingga saya harus mempertanyakan kembali kedirian saya, budaya yang melahirkan saya, dan habitat hidup saya sekarang. Mbah Prapto mengantar saya untuk mengambil jarak dengan Bali, melihatnya dari jauh, untuk kemudian masuk kembali ke dalamnya, terlibat lebih dalam dari sebelumnya. Demikian pula dengan teater. Namun jujur harus diakui bahwa sampai kini saya belum menemukan titik pasti ke mana dialog ini akan bermuara. Dan buku ini menjadi semacam storytelling saya tentang dialog demi dialog.
Sekali lagi, buku ini ditulis berdasar perspektif saya, sebuah interpretasi yang sangat mungkin membelok dari pemikiran Mbah Prapto sendiri, juga pemikiran para penulis yang telah menulis tentang Mbah Prapto. Ada sekitar belasan buku berbahasa Inggris yang membahas – atau paling tidak, menyinggung – apa yang dilakukan Mbah Prapto. Beberapa di antaranya telah saya baca, namun dalam buku ini saya menghindar untuk mengutip atau dipengaruhi oleh pemikiran demi pemikiran dalam buku-buku itu. Pengaruh, sekecil apa pun, memang sulit dihindari. Namun saya berusaha mengontrolnya. Ini demi untuk menguji sejauh mana pencapaian saya dalam berdialog dengan Mbah Prapto.
Ini adalah buku yang belum selesai – dalam arti luas maupun sempit. Dalam arti luas, buku ini belum selesai karena memang saya tidak akan pernah bisa selesai membaca Mbah Prapto. Dalam arti sempit, buku yang hanya terdiri dari beberapa halaman ini terbit karena “paksaan” dari Mbah Prapto. Seiring dengan rencana diluncurkannya buku Embodied Lives: Reflections on the Influence of Suprapto Suryodarmo and Amerta Movement di Balai Soedjatmoko, Solo, Mbah Prapto ingin buku pertama yang saya tulis juga turut diluncurkan. Sayang, proses penulisannya justru belum bisa dikatakan sampai di tengah jalan. Saya baru menyelesaikan tiga bab dari sepuluh bab yang saya rancang. Tiga bab itu pun belum sepenuhnya bisa disebut bab karena sekadar berisi inti pembahasan yang sama sekali belum dikembangkan. Tiga bab yang belum selesai itulah yang kemudian saya putuskan sebagai pengisi buku ini, untuk memenuhi permintaan Mbah Prapto.
Sudah genap dua tahun setelah Mbah Prapto meminta saya untuk menulis buku tentangnya; namun ternyata saya belum menulis apa-apa, kecuali catatan-catatan yang berceceran di berbagai note dan file rekaman – yang beberapa di antaranya luput entah terselip di mana. Penerbitan dengan agak memaksa dan tergesa buku ini untuk warning bagi saya agar lebih rajin menulis. Bagaimanapun, terima kasih terdalam tentu saja saya tujukan kepada Mbah Prapto yang telah memberi kesempatan dan mendorong (sekaligus “memaksa”) saya untuk menulis buku ini – dan mudah-mudahan buku-buku selanjutnya.
Akhirnya, mohon maafkan kelancangan saya ini. Semoga buku ini bermanfaat. Rahayu....
Jogja, Juni 2014
Ibed Surgana Yuga